Kontradiksi Sikap Kades Kepanjen, Minta Tambak Bodong Ditutup tapi Terima Dana CSR

Kepala Desa Kepanjen, Sukamid, terlihat sangat tegas saat memimpin rapat koordinasi di Aula Kecamatan Gumukmas, Kabupaten Jember, pada hari Jumat, 14 Februari 2025. Ia menekankan pentingnya penutupan tambak udang ilegal di desanya karena dapat merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Namun, di sisi lain, terungkap bahwa beberapa tambak ilegal telah menyalurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) melalui pemerintah desa. Ini adalah sebuah kontradiksi yang patut dipertanyakan. Jika mereka tidak memiliki izin resmi, mengapa pemerintah desa masih menerima dana CSR dari mereka?
Sukamid, dalam rapat tersebut, menegaskan pentingnya menutup usaha yang tidak memiliki izin untuk mencegah kontroversi.
Apa yang dimulai sebagai rapat untuk menanggapi pengaduan masyarakat tentang dugaan pembuangan limbah oleh perusahaan tambak PT Delta Guna Sukses (DGS), justru mengungkapkan fakta lain. Ternyata, mayoritas tambak di Desa Kepanjen tidak memiliki izin resmi.
Berbagai pihak yang memiliki kepentingan hadir dalam rapat ini, termasuk Muspika Gumukmas, Dinas Lingkungan Hidup Jember, Balai Besar Wilayah Sungai Lumajang, PT DGS, Kepala Desa Kepanjen dan Pemerintah Desa Mayangan. Namun sayangnya, perwakilan dari masyarakat dan Dinas Kelautan Perikanan Jember tidak bisa hadir.
Menurut Kamid, dari 26 tambak yang ada di Kepanjen, hanya dua yang memiliki izin resmi, yakni PT DGS dan PT Anugerah Tanjung Gumukmas (ATG). Satu perusahaan lagi masih menunggu persetujuan izin. Ini berarti ada 24 tambak lainnya yang beroperasi secara ilegal.
Sukamid, dalam pernyataannya, mengungkapkan bahwa sejumlah tambak bodong telah menyalurkan CSR melalui pemerintah desa, meskipun jumlahnya kecil. Dari 26 tambak yang ada, hanya 12 yang berkontribusi, terutama dari PT DGS dan ATG. Sisanya? Sukamid menyebutkan bahwa mereka kurang kooperatif dengan desa dan tidak berkontribusi sama sekali.
Pertanyaannya adalah, mengapa pemerintah desa akan menerima sumbangan CSR dari usaha yang tidak sah? Apakah ini berarti ada pelanggaran hukum yang ditoleransi terhadap tambak-tambak ilegal yang seharusnya ditindak?
Di sisi lain, Sukamid meminta penutupan tambak ilegal, sambil mencatat bahwa beberapa tambak ilegal telah masuk dana CSR melalui pemerintah desa tanpa status hukum yang jelas.
Ini menunjukkan bahwa kepala desa tidak konsisten dalam sikapnya. Jika ingin mematuhi aturan, seharusnya tidak menerima dana CSR dari tambak yang beroperasi tanpa izin.
Selain perizinan, Sukamid juga menyoroti metode pengambilan air tambak yang tidak sesuai ketentuan. Seharusnya menggunakan air laut, namun banyak yang mengambil air dari bawah tanah dengan kedalaman lebih dari 50 meter. Hal ini seharusnya memerlukan izin dari ESDM. Apakah ada prosedur yang telah diikuti oleh para petani tambak?
Contohnya, masalah pembuangan limbah. Mayoritas tambak yang tidak resmi langsung membuang limbahnya ke laut tanpa proses pengolahan yang benar. Hal ini berdampak pada nelayan lokal yang mengalami penurunan hasil tangkapan akibat kerusakan ekosistem laut.
Untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan ketaatan terhadap peraturan, pemerintah desa harus berperilaku lebih selektif dan konsisten. Jika tujuannya adalah memberantas tambak bodong, maka semua bentuk kerja sama, termasuk menerima dana CSR dari tambak ilegal, harus dihentikan. Dengan demikian, tidak akan ada celah bagi praktik-praktik ilegal untuk berlanjut dengan dalih kontribusi sosial.
Komentar resmi dari Camat Gumukmas, Nino Eka Putra Wahyu Ramadhoni, menunjukkan sikap hati-hati terhadap isu ini. Dia menyatakan bahwa wewenang terkait perizinan sepenuhnya ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Kabupaten Jember. “Kami tidak dapat memberikan komentar apapun mengenai masalah tersebut,” jelasnya.
Ketika mendengar aduan masyarakat mengenai limbah, kami memastikan bahwa hasil kajian dari instansi terkait menunjukkan bahwa pembuangan limbah tambak di Kepanjen masih memenuhi standar dan dilakukan oleh dua perusahaan yang memiliki izin. Kami juga akan mendorong Pemerintah Desa Kepanjen dan Mayangan untuk melakukan mediasi jika ada lagi masalah sejenis yang diajukan oleh masyarakat.
Namun, ia tetap mengakui bahwa upaya pengawasan tambak yang tidak berizin masih kurang efektif. “Kami telah mengundang Dinas Kelautan dan Perikanan untuk membahas masalah ini, namun mereka tidak hadir. Selain itu, informasi yang kami dapatkan terbatas mengenai persyaratan apa saja yang harus dipenuhi untuk mengajukan izin,” jelasnya.
Apakah ada rencana untuk memanggil pemilik tambak ilegal ini? Menurut pengelola, mereka sedang menunggu langkah-langkah pemulihan yang akan diambil oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Mereka sudah berkoordinasi dengan pihak berwenang mengenai hal ini.